Jumat, 07 Januari 2011

Meringankan Risiko Kredit UMKM Akibat Bencana

Keandalan dan kesaktian Indonesia dalam mitigasi bencana terus diuji dengan aneka bencana alam seperti banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai dan Gunung Merapi dengan erupsi pertamanya pada 26 Oktober 2010 lalu. Dari ribuan korban dapat diduga terdapat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan nasabah bank nasional. Artinya, bukan hanya penduduk setempat dan pelaku UMKM, tetapi juga bank nasional menderita berupa risiko operasional dan risiko kredit. Lantas, bagaimana mengatasinya?
Pendekatan manajemen risiko membagi risiko operasional menjadi tiga macam potensi kerugian atas dasar sifat risiko yang dihadapinya. Pertama, kerugian yang diharapkan (expected loss). Ini merupakan potensi kerugian {potential loss) rata-rata untuk suatu periode dan pada unit bisnis tertentu atas dasar data historis (historical data). Hal ini bermanfaat un-tukmenghitungbesarnya cadangan risiko yang akan diperhitungkan dalam rugi laba suatu bank.
Kedua, kerugian yang tak diharapkan (unexpected loss). Inilah potensi kerugian tertinggi untuk suatu periode dan pada unit bisnis tertentu dengan tingkat kepercayaan (confidence level) tertentu, sebut saja, 95%. Dengan bahasa lebih bening, kemungkinan terjadi penyimpangan sebesar 5%.
Ketiga, kerugian katastropik (catastrophic loss). Hal ini merupakan kemungkinan potensi kerugian yang terjadi di luar kedua kerugian tersebut.
Dengan demikian, sebenarnya potensi risiko apa saja yang ditanggung bank nasional? Pertama, kerugian yangtakdiharapkan.Bisa jadi bank nasional tak sempat mempertimbangkan potensi risiko ini yang menimpa nasabah UMKM sebagai akibat bencana alam. Terlebih kini banyak bank nasional papan atas rajin menggarap kredit UMKM.Katakanlah,PTBank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) sebagai pemimpin pasar yang disusul PT Bank Nasional IndonesiaTbk (BNI) danPTBankMandiriTbk.
Potensi kerugian sebagai akibat bencana alam itu sungguh bu-kan risiko bisnis melainkan risiko operasional. Potensi kerugian semacam itu sulit diduga kapan datangnya sehingga kerap kali membuat bank nasional lalai. Lugasnya, bank nasional mungkin lupa mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan potensi kerugian tersebut.
Kelalaian dalam mempertimbangkan potensi risiko yang satu ini bisa mengakibatkan potensi risiko likuiditas sekiranya temyata risiko jauh lebih besar. Potensi risiko likuiditas itu bakal muncul ketika bank nasional tak menyediakan cadangan yang memadai alias penyisihan kerugian aktiva produktif (PKAP) atau disebut penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP).
Kedua, risiko kredit. Nah, ketika pelaku UMKM tak sanggup meme-nuhi kewajiban mereka kepada bank nasional, maka bank nasional akan menderita risiko kredit. Lagi-lagi,bagaimanasenimengatasinya?
Pertama, penetapan bencana alam. Tentu saja pemerintah diharapkan segera menetapkan bencana alam Merapi sebagai bencana alam nasional. Hal ini akan memungkinkan bank nasional untuk melakukan restrukturisasi kredit tersebut sebagaimana yang telah dilakukan terhadap korban tsunami di Aceh dan gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan JawaTengah.
Kedua, restrukturisasi kredit. Atas dasar penetapan itu, bank nasional dapat menerapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No W15/PBI/2006 tentang Perlakuan khusus terhadap kredit bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam. Hal ini bertujuan untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank dengan jumlah tertentu (plafon s/d Rp5 miliar) dan jangka waktu tertentu (tiga tahun setelah bencana alam).
Lebih lanjut, bank nasional dapat memberikan kredit dan/ataupenyediaan dana lain baru bagi debitor yang telah diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit yang disebabkan oleh dampak bencana alam. Yang dimaksudkan dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit (L/C) sehingga debitor akan kembali dapat melakukan ekspor ke luar negeri. Harap dicatat, BNI dan BRI sudah menunjukkan komitmen untuk meringankan beban nasabah UMKM.
Ketiga, hati-hati. Namun jangan lupa, bank nasional wajib menilai nasabah yang antara lain menilai identitas nasabah, kemampuan membayar kembali, pencairan jaminan dan kredibilitas manajemen. Inilah salah satu langkah kehati-hatian yang harus diambil untuk tidak mempercepat laju rasio kredit bermasalah (nonperforming Zoan/NPL). Seberapa jauh tingkat kecepatan lari NPL UMKM?
Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Agustus 2010 yang terbit 15 Oktober 2010 menegaskan NPL UMKM merangkak naik 3,82% dari Rp24,ll triliun per Agustus 2009 menjadi Rp25,03 triliun per Agustus 2010. NPL tampak terusmendaki dari April 2010 sebesar Rp23,43 triliun menjadi Rp24,83 triliun per Mei 2010, Rp23,53 triliun per Juni 2010, Rp24,24 triliun per Juli 2010 dan Rp25,03 triliun per Agustus 2010.
Yang mencemaskan, kenaikan NPL ini terjadi hampir pada semua kelompok bank. Hanya NPL Kelompok bank persero menipis 13,38% dari Rpll,21 triliun per Agustus 2009 menjadi Rp9,71 triliun per Agustus 2010. Sebaliknya, NPL kelompok bank lainnya justru menebal. Tengok saja, NPL Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) dari Rpl,81 triliun menjadi Rp2,67 triliun (naik 47,51%), bank swasta nasional dari Rp8,94 triliun menjadi Rp9,63 triliun (7,72%) dan bank asing dan bank campuran dari Rp2,15 triliun menjadi Rp3,02 triliun (40,47%) pada periode yang sama. Ini peringatan dini bagi bank nasional.
Dengan langkah strategis demikian, pelaku UMKM akan kembali bangkit dengan semangat baru. Bank nasional pun dapat menekan potensi risiko kredit. Perekonomian DIY dan Jawa Tengah akan kembali bergairah untuk menunjang roda perekonomian nasional.Tak lama lagi.

http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=491:meringankan-risiko-kredit-umkm-akibat-bencana&catid=50:bind-berita&Itemid=97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar